PUSTAKA CERPEN

Cerpen atau cerita pendek adalah karya sastra dalam bentuk prosa fiksi. Cerpen merupakan karya sastra populer yang lebih sederhana daripada novel. Cerpen terdiri dari satu inti kejadian yang dikemas dengan cerita yang padat

Lagu Sunyi Arumi

Lagu Sunyi Arumi

 

Selepas subuh Arumi membuka jendela kamarnya. Udara sejuk menyentuh kulitnya, segar terasa. Sejenak ia memandang ke arah samping taman rumahnya. Tampak butiran embun  bergelayut mesra di atas pucuk-pucuk daun, bunga-bunga celosia bermekaran sungguh indah dalam paduan warna merah dan kuning. Sungguh cerah. Hati Arumi sungguh riang mendengar  burung-burung bersiul riang menyambut pagi, terbang di atas pohon pucuk-pucuk merah dan sesekali terbang rendah mencumbu rerumputan di atas hamparan rumput hijau yang menyejukkan mata. Ah, pagi yang indah. Semua terlihat cerah. Inilah berkah yang terhingga dari Sang Maha Pencipta.

Arumi sesungguhnya masih ingin menikmati suasana yang membuat hatinya sumringah pada hari ini. Akan tetapi ia ingat, hari ini  harus mengantarkan ibunya pulang ke kampung. Sudah seminggu ibunya dari kampung berkunjung ke rumahnya. Hari ini ibunya akan kembali pulang karena banyak urusan yang selalu dilakukannya secara rutin, menanam sayuran di kebun kecil peninggalan suaminya, mengikuti pengajian rutin, dan kegiatan sosial lain di kampungnya yang asri.

Arumi bergegas menyalakan mobilnya yang terparkir di garasi. Ada kebiasaan yang selalu Arumi lakukan setiap ibunya meminta pulang. Ia akan menyiapkan bingkisan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke kampung, mengemasnya dalam kardus, lalu disimpannya di bagasi mobil dan dengan sigap memapah Ibunya untuk masuk ke dalam mobil yang Ia kemudikan sendiri menuju terminal bus di kota tempat ia menetap bersama keluarganya.

                Mobil yang ia kendarai melaju pelan. Aspal jalananan masih basah. Semalam hujan mengguyur kota yang telah lama ia tinggali bersama keluarganya selama dua puluh tahun. Udara sejuk ia rasakan lewat kaca jendela mobil yang sengaja ia buka. Sungguh rutinitas mengantarkan orang tuanya seperti ini selalu membekas di hati Arumi. Ada debar kasih yang tak ia rasakan pada orang lain.Ia begitu menyayangi sosok yang sudah mulai renta. Ingin rasanya ia mengantarkan Ibunya pulang ke kampung halaman, akan tetapi jadwal pekerjaanya yang padat tak memungkinkan ia melakukannya. Tanpa terasa ia merasa tersentuh melihat ibunya memainkan dompet pada tas jinjing yang ia hadiahkan kepada ibunya pada saat liburan tahun  lalu. Arumi tersenyum lembut, menoleh ke kiri dan berkata lirih sambil mengusap lembut tangan ibunya yang duduk di jok mobil samping depan.

“ Bu...Arumi masih kangen sama Ibu. Nanti kalau ke sini ga usah buru-buru minta pulang ya!”

“ Kamu itu kan orang dinas. Kerja jadi orang pemerintah, ya harus disiplin biar konditenya bagus!”.

Ibu Arumi memang pensiunan pegawai negeri jadi bahasanya agak intelek untuk ukuran seorang ibu yang sudah sepuh. Arumi sangat bangga dengan kemampuan ibunya dalam bertutur. Selalu mencerahkan pikiranku, Arumi membatin. Lalu Arumi merajuk manja pada ibunya:

“  Lho tapi apa maksudnya, Bu?” Arumi mengelus tangan ibunya lembut.

“ Lha iya...kalau Ibu lama-lama di sini, ya kamu banyak waktu tersita buat ngurusin Ibu. Ntar pekerjaanmu ga selesai! Rugi kantormu!

“ Ya sudah. Ibu sehat ya. Jaga makanannya, jangan terlalu cape,  jangan sampai tensi naik ya...” Arumi menjawab setengah membujuk

“ Kamu itu cerewetnya dari dulu ga hilang-hilang!”, ibunya menepuk bahu kirinya lembut.

“ Kan dokter juga yang bilang begitu. Eeh kita sudah sampai, Bu!

                Sebelum turun dari mobil seperti biasa,Arumi menyelipkan amplop kecil di pangkuan Ibunya lalu turun dan dengan cekatan sekali menurunkan barang dari bagasi mobilnya. Ia terlihat sangat telaten menemani Ibunya duduk di ruang tunggu terminal menunggu bus yang akan ditumpanginya lewat di jalur lintasan.

“ Ibu lupa kemarin menyampaikan ini. Bacalah kalau kamu senggang, Mi!”

Sebuah buku berjudul ” La Tahzan” Arumi terima tanpa sempat ia menanyakan di mana ibunya sempat membeli buku it. Arumi hanya menyampaikani ucapan terimakasih karena bus yang ditunggu sudah datang. Arumi memeluk erat Ibunya, menyampaikan doa dan membantunya naik ke atas bus yang masih sepi penumpang. Mungkin karena semalam hujan deras dan masih terlalu pagi sehingga orang malas ke luar rumah, pikirnya. Sepuluh menit berlalu, mobil yang membawa ibunya meninggalkan ia yang masih berdiri melambaikan tangan sampai bus yang melaju menuju kampung halamannya hilang di tikungan jalan.

                Ada trenyuh menyeruak di relung hati Arumi mengiringi kepergian ibunya kali ini.Ia tak tahu alasannya mengapa. Sambil melangkah menuju halaman parkir terminal, ia berjalan cepat dan masuk ke dalam mobil, kembali menuju rumahnya. Sebentar lagi ia bersiap masuk kerja. Ada banyak pekerjaan kantor yang belum terselesaikan. Maklum bulan-bulan ini, laporan ke kantor pusat hampir deadline.

Tiba-tiba ia teringat percakapan semalam dengan ibunya di teras depan. Tak biasanya ibu mengajakku berbicara seserius itu, pikirnya. Jika bermalam di rumahku, selepas sholat isya biasanya langsung masuk kamar untuk beristirahat karena biasanya pukul 03.00 ibunya sudah terbangun lagi untuk solat malam yang setia dlakukannya selama ini. Sebuah ritual ruhaniah yang selalu  ia lakoni di sepanjang sisa usia pensiun.

“ Arumi, Ibu lihat anakmu, Anita koq jarang sekali ada di rumah!”

“ Anita jadwal kuliahnya memang sampai sore, Bu!”

“ Kuliah setiap hari? Ibu lihat, Ia terlalu banyak waktu di luar rumah. Perhatikanlah anakmu, jangan terlalu sibuk ngurusin pekerjaan kantor!”

“ Resiko pekerjaan Saya memang begini. Nasib pegawai negeri ya begini, Bu!”

“ Kamu itu pagi berangkat, menjelang magrib baru pulang. Sisa waktumu gunakan untuk memperhatikan anakmu”

“ Ibu melihat sesuatu yang lain dari Anita?”Arumi merasa was-was.

“ Anakmu tak pernah lagi terdengar mengaji, ajarkan ibadah yang baik pada anakmu, kebiasaanmu dulu waktu di kampung tak ibu lihat lagi pada anakmu!”

 “ Iya, Bu!” Arumi menjawab pelan.

“ Ingatkan dia bukan hanya sukses kuliah tapi juga ibadah!”,suara ibunya tegas.

‘ Iya, Bu.Nanti Saya ingatkan lagi dia!”

“Kamu tahu ngga, selama ibu di sini, kalau di rumah itu tak pernah lagi lama-lama ngobrol sama ibumu, kerjaannya sibuk ngurusin hape. Kapan Ibu lihat ia bantuin kamu di dapur?. Jadi perempuan itu harus bisa belajar ngurusin tugas-tugas perempuan!”

                Anita tertegun mendengar ucapan ibunya. Sedemikian perhatiannya ibu mengamati kebiasaan anaknya. Adakah yang salah dengan pola asuhnya selama ini? Ia merasa segala kebutuhan anaknya tercukupi walaupun ia hanya seorang single parent. Gajinya sebagai seorang karyawan yang memiliki kedudukan cukup penting cukup membiayai anaknya kuliah. Ia tak merasa anaknya protes dengan segala kesibukan kantornya. Tak mungkin Anita melakukan hal ang mengecewakan dirinya karena segala kebutuhan telah ia penuhi sesuai dengan keinginan anaknya. Ia sangat yakin tak ada yang aneh dari anak semata wayangnya. Ah, ibu terlalu berlebihan mungkin, ia meneguhkan hatinya. Tak perlu risau. Anaknya baik-baik saja. Arumi malah berpikir sederhana bahwa ibunya terlalu sayang pada cucunya sehingga agak berlebihan mengungkapkan kekhawatirannya. Itulah selintas ingatan tentang percakapan semalam dengan ibunya yang terhenti karena lampu pengatur lalu lintas di perempatan jalan menyala berwarna merah.

                Tiba di rumah Arumi tergesa melakukan persiapan menuju kantor. Tapi entah kenapa sesaat ia merapikan pakaiannya, ia berkaca pada cermin di hadapannya. Percakapan semalam itu terlintas lagi dalam ingatannya. Ia baru menyadari bahwa akhir-akhir ini ia tak lagi merasakan kehangatan suasana rumah yang hanya dihuni tiga orang bersama seorang asisten rumah tangganya. Sejak kepergian suaminya, ia lebih banyak menyibukkan diri di kantor, sedangkan anaknya  sibuk dengan tugas-tugas kuliah. Semua asyik dengan dunia masing-masing. Ah, aku harus menyelesaikan pekerjaan kantor minggu ini supaya hari libur minggu ini ia bisa pergi ke kampung bersama anaknya.

Ketika ia berpikir  siap untuk merencanakan perjalanan menuju kampungnya nanti, tiba-tiba terdengar suara memanggilnya dari ruang tengah.

“ Mama, ayo kita sarapan!”

“ Duluanlah, Nita. Mama masih belum selesai” Arumi menjawab dari kamar. Selesai dandan, Arumi ke luar kamar menuju ruang tengah dan melihat anaknya hampir menyelesaikan sarapannya.

“ Nanti soren ada acara ngga, Ma? Aniita bertanya sambil menyuapkan sendok terakhir sarapannya.

“ Aku ingin beli perlengkapan persiapan KKN, Ma!Banyak yang harus dibeli” Anita menegaskan.

“ Kamu kan bisa diantar Mba Rahma. Mama masih ada jadwal ke luar kota, sayang!”.

“ Belanja itu kan ga lama, Ma. Lagi pula udah lama juga Mama ga nemenin aku pergi jalan!.

“ Nanti Mama temenin kalau jadwal Mama di luar kota sudah selesai, ya!. Sudah nanti diantar Mba aja. Dia kan  lepas dhuhur sudah selesai beres-beres rumah. Nanti Mama transfer uangnya!”

“ Ga usahlah Mama kasih uang buat aku. Bosan!. Mamah pikir aku Cuma butuh uang doang? Aku bisa pergi tanpa Mba Rahma. Semua sibuk!” anaknya menjawab ketus dan beranjak pergi meninggalkan dirinya yang tertegun dengan sikap anaknya yang tak biasa. Arumi merasa ada yang menohok jantungnya! Anita, anak yang biasa lembut itu kini berani menjawab ketus dan melawan ucapannya. Hal yang tak pernah ia lakukan selama ini. Ada apa dengan puteriku? pikirnya sedih. Tapi ia tak sempat bertanya lagi karena anaknya telah menghilang dengan sepeda motor kesayangannya tanpa pamit kepada dirinya. Biarlah, nanti akan ia bujuk anaknya untuk memahami kesibukannya, hatinya membatin. Kini ia sudah ditunggu rekan kerja di kantor. Ya, hari ini terakhir kegiatan diklat di luar kota. Insya Allah bisa pulang sebelum magrib karena hari terakhir kegiatan biasanya selesai ashar, jadi bisa pulang ke rumah lebih cepat.

Kegiatan pelatihan kepemimpinan yang menjadi tanggung jawab Arumi sampai pada sesi refleksi. Arumi merasakan debar lain. Entah itu apa. Yang jelas pikirannya teringat pada perbincangan di meja makan tadi pagi dengan anaknya. Tiba-tiba ia sangat rindu untuk menemani anak satu-satunya itu santai ngobrol di swalayan tempatnya biasa berbelanja. Ah, sudah lama kehangatan itu tak ia miliki. Ia ingin sekali cepat pulang dan segera memeluk anaknya dengan hangat. Ya, Arumi mulai merasakan ada kesunyian meski ia berada di tempat yang ramai seperti dalam kegiatan pelatihan saat ini.

Pada saat ia akan menutup kegiatan pelatihan kepemimpinan yang diikuti oleh dua ratusan orang karyawan pemerintahan daerah itu, ia dikejutkan dering telepon selulernya. Mba Rahma, asisten rumah tangganya menelepon. Ah, paling asistennya memberitahukan bahwa ada keperluan dapur yang lupa belum dibeli. Pesannya, biasa... titip dibeliin ibu sesuatu sebelum pulang, selalu ia mengirim pesan whast up seperti itu. Ia matikan teleponnya. Tapi, nada dering telepon selulernya berdering lagi.Ah, apa lagi? Batinnya ngomel. Ia matikan teleponnya. Acara penutupan sudah dimulai.Ia harus menyampaikan apresiasi kepada semua peserta kegiatan pelatihan. Dan selesai sudah. Semua bertepuk tangan riuh. Sukses untuk kiat memimpin masa depan.

Rekan dan kolega Arumi menyalami dirinya yang bergegas menuju ke luar ruangan. Di balik keramaian itu, ia teringat telepon tadi. Ia hidupkan telepon selulernya. Panggilan tak terjawanb Mba Rahma berdering 3 kali. Pesan Whats Up nya ia baca: “ Bu, Kakak Nita telah pergi...!”. “Kakak Nita tertabrak mobil di perempatan swalayan!”. Tiba-tiba mata Arubi mengabur, huruf-huruf pesan Mba rahma tak terbaca. Arumi lemas terduduk di sofa lobby hotel tempat kegiatan pelatihan. Ia merasa bumi berhenti berputar.Semua terasa gelap. Hening menyelimuti jiwa. Tak ada lagi harta yang paling berharga dalam hidupnya. Separuh jiwanya melayang menuju keheningan. Sesal yang tak bertepi. Abadi. Episode kehidupan Arumi menemui babak baru. La Tahzan! Pesan cinta yang dikirim ibunya menjadi harmoni lagu sunyi  bagi Arumi.

Search