Di atas secarik kertas, gadis desa berparas cantik itu mulai menghapus satu-persatu mimpinya dan mulai menguburnya dalam-dalam. Ia kehilangan asa nya, semangatnya pun tak lagi bergejolak mengingat kondisi kesehatan ibu yang kian hari kian memburuk dan tagihan rentenir yang tak kunjung habis pasca kepergian ayah. Ayah pergi menikahi kekasih barunya dengan meninggalkan kami sejumlah hutang yang aku sendiri pun tak tahu berapa besar jumlahnya.
Panggil saja Kirey, ya, ayahku kerap kali memanggilku dengan nama itu dulu. Aku adalah seorang gadis desa yang berat hati menghentikan pendidikanku demi menafkahi keluarga. Bagaimana tidak? Ayah pergi meninggalkan kami ketika ibu diterpa penyakit mematikan itu sejak 2 tahun lalu. Aku dan ketiga adikku hanya mampu mengurai air mata di balik pintu ruang tamu. Tampaknya, air mata kami tak cukup kuat untuk menghentikan ayah. Ia tetap teguh pada keputusannya untuk meninggalkan kami. Sejak saat itu, aku yang masih duduk di bangku kelas 9 SMP terpaksa menggantikan peran ayah.
Di suatu ketika di pekarangan sekitar rumah, aku duduk di ayunan rajut yang dibuat oleh ibu, menikmati hilir angin yang membelai setiap helai rambutku yang hitam kekuningan ini. "Genap sebulan ayah menikahi kekasih barunya, tak terasa ya.." celetukku dalam hati. "Obat-obatan ibu sudah mau habis, beras dan susu adik juga semuanya habis, bagaimana caranya agar aku bisa mendapat penghasilan untuk memenuhi semua kebutuhan pokok ya" lanjutku. Ketika aku melamun, aku menatap sekelilingku, aku melihat tanaman obat keluarga yang ibu tanam semasa ibu sehat. Aku juga teringat pernah diajari ibu membuat jamu penguat kekebalan tubuh, pegel linu, dan jamu-jamu lainnya beberapa waktu lalu. Saat itu juga, terbesit dalam benakku untuk menjual jamu dari tanaman obat keluarga di pekarangan rumah. Namun, aku sempat menunda rencana untuk menjadi seorang penjual jamu keliling sebab malu melihat teman sebayaku melanjutkan pendidikan di sekolah bergengsi di kampungku. Lantas, apa boleh buat? Di tengah kondisi kritis keluarga, aku tak punya pilihan lain untuk mencari nafkah. Aku berpikiran untuk menjual jamu keliling namun mengenakan pakaian peninggalan nenek dulu agar terlihat seperti nenek tua yang sangat sulit untuk dikenali.
Mengingat riwayat prestasi yang pernah diraih pada ajang mencari bakat selama duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku bermodal nekat mengunjungi kediaman paman Herman, warga kampung sebelah pemilik grup dangdut yang sedang naik daun di lingkungan tempat tinggal kami. "Eh Kirey, ada perlu apa kemari? Tumben sekali". Tanya paman Herman kepadaku. "Ini paman.. dengar-dengar, paman sedang mencari penyanyi baru untuk grup dangdut paman, bukankah begitu?" Tanya ku kepada paman Herman. "Iya betul sekali nak, artis grup dangdut kami resign beberapa hari lalu karena ia memilih untuk bekerja merantau di luar kota" jawab paman Herman. "Kalau begitu, saya berminat untuk menggantikan posisi beliau, saya sempat menjadi juara pada beberapa ajang pencari bakat ketika SMP dulu, bagaimana jika saya bernyanyi satu lagu untuk paman sebagai buktinya, itu pun jika paman berkenan". "Wah benarkah? Tempo hari paman mencari pengganti artis ke semua desa di kecamatan kita, tapi tak ada satupun yang cocok. Tapi tak disangka, hari ini ada gadis kecil tetangga paman yang mau menawarkan diri. Baik, silahkan Kirei, nyanyikan satu lagu untuk paman".
Setelahnya, Kirei mendapat komentar baik dari paman Herman. "Kirei, nanti malam kamu boleh mulai manggung ya, gunakan pakaian terbaik kamu dan temui paman di kantor desa pukul 19.00". Ujar paman Herman. "Wahhhh, terimakasih banyak paman, kalau gitu saya pamit pulang dulu ya" jawabku lugas.
Panggung pertamaku sukses dan mendapat respon baik dari seluruh penonton. Sejak saat itu, aku dikenal sebagai penyanyi dangdut terbaik dan grup dangdut kami mendapat jadwal panggung yang cukup padat.
Saat ini, aku mempunyai dua pekerjaan dengan penghasilan yang cukup untuk menafkahi biaya pengobatan ibu dan memenuhi kebutuhan pokok di rumah. Di waktu pagi hingga sore hari, aku tetap menjadi seorang penjual jamu keliling. Namun pada malam hari, aku juga seorang penyanyi dangdut yang sukses memikat hati masyarakat luas.
Suatu ketika, aku sedang menikmati waktu istirahatku di bawah pohon rindang sembari mencuci gelas kotor setelah seharian penuh berkeliling desa untuk berjualan jamu. Aku juga berulang-ulang menyanyikan lagu baru yang sedang ku hafal untuk acara nanti malam. Alunan suaraku membuat seorang pria berjanggut lebat bertopi koboi menghampiriku.
"KIREI, ITUKAH ENGKAU???" tanya pria itu dengan ekspresi terkejut.
Ya, benar saja, sosok pria itu adalah paman Herman. Aku bungkam seribu bahasa saat itu, enggan mengaku kepada paman Herman bahwa aku adalah Kirei, sosok penyanyi berparas cantik yang sedang ramai dibicarakan semua orang. Namun, paman Herman terlanjur menangkap basah penyamaranku. "I-iya paman" jawabku gugup. "Sejak kapan kamu menjadi penjual jamu keliling? Dan mengapa? Bukankah uang hasil manggung sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadimu?" lanjut paman Herman.
Aku mulai menjawab pertanyaan paman Herman satu-persatu. Air matanya jatuh bercucuran setiap kali mendengar kata demi kata yang menyeringai dari mulutku. Dengan penuh haru, paman Herman menepuk kepalaku dan berkata "Nak, andai sejak kali pertama pertemuan kita kamu menyampaikan alasan sebenarnya kamu ingin bergabung dengan grup dangdut paman, pasti paman bantu, sungguh. Mulai besok, kamu tak perlu berjualan jamu lagi ya. Kamu dan ketiga adikmu bisa bersekolah kembali minggu depan. Perihal biaya sekolah dan biaya pengobatan ibu biar paman yang urus. Mari paman antar pulang".
"Tak pernah terpikir dalam naluriku, Tuhan.. engkau turunkan sosok lelaki asing berhati malaikat ini di hadapanku. Entah karma baik atas perbuatan apa yang pernah ku lakukan di masa lalu. Terimakasih Tuhan, lindungi paman Herman dalam setiap langkah yang hendak ia pijak" rintihku dalam hati.