PUSTAKA CERPEN

Cerpen atau cerita pendek adalah karya sastra dalam bentuk prosa fiksi. Cerpen merupakan karya sastra populer yang lebih sederhana daripada novel. Cerpen terdiri dari satu inti kejadian yang dikemas dengan cerita yang padat

SURAT UNTUK MASA DEPAN

SURAT UNTUK MASA DEPAN

Di sebuah pelosok desa, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Dian dengan latar belakang ekonomi keluarga yang berkecukupan. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya di sebuah rumah minimalis beratap baja ringan. Sejak kecil, orang tua Dian tak pernah mengelak terhadap setiap permintaannya. Mulai dari membeli mainan, alat tulis, hingga sepeda impiannya. Dengan latar belakang ekonomi orang tua yang serba berkecukupan, masa kecil Dian kerap membuat anak-anak seusianya merasa iba karena mereka tak mampu merasakan apa yang Dian dapatkan. Ia tumbuh dengan penuh ceria dan sehat didukung oleh pangan dengan nutrisi penuh dari ayah dan ibunya.


Setelah menamatkan pendidikannya di bangku Sekolah Dasar, Dian dihadapkan dengan dua pilihan. Apakah ia akan melanjutkan jenjang SLTP reguler atau sekolah Islam terpadu (pesantren). Kebimbangan Dian kian muncul ketika dihadapkan dengan dua pilihan ini. Meski kedua orang tua nya memilihkan Dian sekolah islam terpadu yang baik untuk masa depannya, Dian harus siap menelan pahitnya kehidupan jauh dari orang tua, terlebih di usianya yang baru saja menginjak usia remaja. Namun kebimbangan ini berakhir ketika Dian menerima informasi bahwa banyak dari rekan alumni sekolah dasarnya yang ingin melanjutkan ke sekolah islam terpadu. Dengan begitu dian memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah Islam terpadu.

Kali pertama sesampainya di pesantren menjadi hari yang paling pahit sepanjang perjalanan hidup Dian. Ia yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, kini harus melanjutkan langkahnya dengan jauh dari mereka. Derai air mata tak dapat terbendung ketika salah seorang ustadz pada agenda pertemuan wali santri saat itu berkata “Pak, Bu, kami tau bahwa melepaskan anak yang setiap hari kita timang-timang untuk hidup mandiri adalah bukan suatu hal yang mudah. Namun apabila Bapak Ibu keberatan untuk melepas mereka, buah hati Bapak Ibu di sini akan jauh menderita merindukan orang tuanya. Percayalah, putra putri ibu akan jauh lebih baik selepas mereka menamatkan pendidikannya di sini. Terakhir, Bapak Ibu akan diperkenankan untuk menjenguk setelah 40 hari pertama mereka tinggal di asrama”.


Seraya menyeka air mata, Dian menyadari bahwa setiap momen yang ia lewatkan bersama orang tuanya di rumah adalah momen yang sangat berharga. Masakan ibu nya di rumah adalah masakan terenak yang senantiasa ia rindukan, teguran kecil orang tua adalah suara yang selalu ia nantikan. Semuanya terasa seperti mimpi, kini Dian harus mampu melalui hari-hari nya tanpa bantuan orang tua. Pelukan Ayah Ibu nya siang itu adalah kali terakhir ia merasakan hangatnya kasih sayang orang tua sebelum masa penjengukan di waktu mendatang.


Hari demi hari telah Dian lewati dengan penuh rasa rindu kepada orang tuanya di rumah. Di suatu hari setelah jam makan siang, Dian duduk di atap asrama, tempat menjemur pakaian santri putra. Dian melakukan kegemaran baru nya untuk mengisi waktu luang, yakni meluapkan perasaannya dalam bentuk tulisan di sebuah buku catatan harian. Pada saat itu, ia menuliskan mimpi-mimpinya, berkhayal betapa senangnya jika ia dapat lolos ke perguruan tinggi negeri, mengenakan pakaian dinas impiannya ketika bekerja nanti, menoreh banyak prestasi untuk mengejar beasiswa menuntut ilmu ke luar negeri, dan membuat orang-orang di sekelilingnya bangga atas capaian yang ia raih. Menulis menjadi kebiasaan dian untuk mengisi waktu luang dan sedikit meredakan kerinduannya terhadap orang tua di rumah.


39 hari berlalu, banyak hal-hal baru yang ia dapatkan di kehidupan sekolah berasrama. Kebiasaan bangun pagi, mencuci baju sendiri, melewati setiap kesulitan-kesulitan dan melalui semuanya bersama teman sekamar, akan menjadi perjalanan hidup paling berharga bagi Dian. Malam itu, Dian berniat meminjam telepon genggam milik salah satu ustadz untuk bertukar kabar dengan orang tuanya di rumah. Malangnya, Dian mendapat kabar tak menyenangkan saat orang tuanya memberi tahu bahwa mereka tak dapat menjenguk di hari pertama penjengukan setelah 40 hari karantina karena suatu hal yang tidak mereka beri tahu kepada Dian.

Kabar tak menyenangkan hari itu tak membuat Dian patah semangat, meski tak dapat dipungkiri ada banyak rasa iba melihat santri lain yang sedang membobok celengan rindu kepada orang tuanya di hari penjengukan. Mengingat banyak mimpi yang ia tulis dalam buku catatan hariannya, Dian menuntut ilmu dengan penuh kegigihan. Belajar hingga larut malam tak kenal lelah karena begitu banyak mimpi yang harus digapai. Hingga akhirnya, perjuangan keras Dian berbuah hasil pada saat pembagian rapor akhir semester. Prestasinya memperoleh banyak untaian pujian dari Dewan Asatidz pesantren.


Satu bulan kemudian, di tengah teriknya pancaran sang surya..
TOK TOK TOK TOK!! bunyi ketukan suara petugas piket di balik pintu kamar Dian telah membangunkan ia dari tidurnya. “Afwan baru bangun tidur, ada perlu apa ustadz?” tanya Dian. “Ini nak, ada titipan surat untuk kamu, beliau berpesan agar kamu dapat membacanya seorang diri” lanjut petugas piket. “Baik tadz, syukran”.
Dengan penuh kehati-hatian, Dian membuka perlahan surat itu dan mulai membacanya di sudut kamar. Ternyata, surat itu adalah surat dari orang tua nya di rumah. Ia dikejutkan dengan salah satu kalimat dalam surat yang menerangkan “Nak, sejujurnya dengan berat hati Ibu menulis surat ini untukmu. Namun ibu juga tak punya pilihan lain, selain memberitahu mu sekarang. Mohon maaf ya nak, sepertinya perjalanan mu menggali ilmu di pesantren harus terhenti di sini, karena Ibu sudah tak mampu lagi membayar uang bulanan anak untuk menempuh pendidikan di pesantren, Ayah baru saja diamankan polisi sektor setempat karena tertangkap basah sedang memakai obat-obatan terlarang. Ibu mu juga sudah tak mampu melunasi utang-utang ayahmu yang secara diam- diam menggadaikan harta keluarga untuk membeli obat-obatan itu. Sungguh, ibu tak tahu ayahmu telah berbuat begitu tega. Sekarang ini, ayahmu pergi dengan meninggalkan kami se gudang hutang yang ibu sendiri pun tak mampu menaksir jumlahnya. Silakan berkemas, malam nanti paman akan menjemputmu pulang. Jangan risaukan uang pangkal mu satu semester ini, karena sudah ibu lunasi dengan sisa uang yang tersisa”. Hati Dian hancur, ia membanting badannya berkali-kali ke dinding seakan-akan menganggap bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi. Kata demi kata Dian baca berkali kali, dan malangnya, ini semua bukanlah mimpi.

Sore hari telah tiba, Dian segera berkemas untuk pergi meninggalkan asrama malam nanti. Setibanya Paman Dian di halaman asrama, Dian seketika luluh lantah tak berdaya di hadapan pamannya. Momen itu berhasil mengikat perhatian ratusan pasang mata di sekitar komplek asrama. Paman Dian tak dapat mengungkapkan sepatah kata pun selain memeluk Dian erat-erat. Kemudian, “sudah sudah, mari kita bergegas pulang, Ibu mu sudah menanti kedatangan mu sejak siang tadi”. Ucap Paman Dian.

Setibanya di rumah, Dian seketika memeluk Ibu nya seraya melepas rindu yang telah tertahan berbulan-bulan lamanya. Saat itu, yang ada dalam pikiran Dian hanyalah keadaan ibunya, saling menguatkan adalah satu-satunya pilihan yang tepat pada saat momen seperti ini. Ibu Dian melanjutkan “Nak, Ibu tau kamu sangat terpuruk setelah membaca surat tadi siang. Begitu pula dengan Ibu nak, hati ibu hancur ketika melihat barang demi barang di rumah kita diangkut oleh petugas kepolisian. Tak ada yang dapat ibu lakukan selain menangisi apa yang terjadi di hadapan mata ibu.”

Dian kembali menginjakkan kaki di kamar tidurnya. Tempat yang selama ini menemani Dian dalam merajut mimpinya, kini harus kembali menyaksikan perjalanan Dian dengan keadaan yang jauh berbeda. Malam itu, dengan keadaan tak berdaya, Dian meraih langkahnya untuk duduk di meja belajar nya. Pada saat itu, Dian membuka buku catatan harian selama ia tinggal di asrama. Ia mulai menulis dengan penuh rasa kecewa, tak seperti biasanya diawali dengan judul “Surat untuk Masa Depan.
Untukku di masa depan, ketahuilah bahwa tiada perjuangan yang sia-sia. Meskipun kini, aku harus merelakan semua mimpi-mimpi yang selalu aku dambakan di sepertiga malam, harapan-harapan yang selalu aku doakan selepas sembahyang, dan keinginan-keinginan yang kini kepergiannya harus aku ikhlaskan. Dengan segala hambatan, aku berjanji untuk tidak akan menyerah dalam menggapai setiap anak tangga yang akan ku pijak untuk berada pada anak tangga terakhir, yakni kamu Dian di masa depan.”

Keesokan harinya pada jam makan siang, Ibu Dian dengan segala kelapangan hati nya kembali menemui Dian untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. “Dian, kemari sebentar nak, ada yang ingin ibu bicarakan” ujar Ibu Dian. “Iya bagaimana ibu?” jawabnya lesu. “Ibu sudah mempunyai keputusan terbaik untuk kita dan masa depan kita nak, setelah ibu pertimbangkan, ibu memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri untuk melunasi semua hutang-hutang ayahmu dan mencukupi kebutuhan hidup kita sehari-hari”.
“Ya sudah kalau dirasa itu jalan yang terbaik bagi kita, ambillah saja bu. Ibu di rumah pun tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Jaga diri baik-baik disana bu, Dian sayang ibu”.

Search